MEDIA PURNA POLRI,KEPSUL- Munculnya dugaan ijazah palsu yang melibatkan sejumlah Calon Anggota DPRD terpilih di Kabupaten Pulau Taliabu, membuat Penulis kembali teringat dengan ucapan yang di sampaikan oleh beberapa Dosen pengajar di perguruan tinggi. Mereka mengatakan, Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang mempunyai prinsip asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Dimana setiap orang tunduk pada peradilan hukum yang sama dan pada akhirnya setiap warga Negara menghendaki hukum sebagai dasar tertinggi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang akan terjadi di tengah masyarakat. Sebab, Hukum sebagai dasar tertinggi di Negara Indonesia.
Berbicara Hukum bahwa, beberapa minggu lalu publik Maluku Utara dan khususnya di Kabupaten Pulau Taliabu telah dikejutkan dengan adanya hasil investigasi oleh Presidium Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi Indonesia (AMPDI) yang mensinyalir adanya dugaan penggunaan ijazah palsu yang melibatkan sejumlah Anggota DPRD terpilih di Kabupaten Pulau Taliabu pada Pemilihan Serentak 2019. Sebab, hasil investigasi tersebut, pihak AMPDI telah membuat laporan Polisi (LP) No. STPL : 147 / V / 2019 / SPKT ke penegak hukum pada Tanggal 29 Mei 2019.
Seperti apa yang disampaikan oleh Almarhum Sutan Bhatoegana Sepuluh Tahun lalu yakni ngeri-ngeri sedap. Hal ini menjadi konsumsi publik bila penegak hukum serius dan tidaknya untuk melakukan proses penyelidikan dan statusnya ditingkatkan ke Penyidikan atas dugaan pemalsuan ijazah oleh sejumlah oknum Anggota DPRD Terpilih di Kabupaten Pulau Taliabu.
Saya dan masyarakat pada umumnya, sangat mengharapkan kepada pihak Kepolisian untuk secepatnya dapat membongkar kejahatan yang dilakukan oleh calon-calon pembuat Legislasif sudah mejadi rahasia umum ini. Bukti-bukti yang sudah dilaporkan kepada penyidik, tentunya dapat mempermudah untuk menegakan supermasi hukum sebagaimana terobosan Grand Strategi Tahun 2016 – 2025 oleh Bapak Kapolri Jendral Polisi. Prof. Drs. H.M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D. berupa Motto Promoter (Profesional, Modern, Terpercaya).
Kejahatan pemalsuan ijazah tersebut, merupakan bentuk tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ayat (1) barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutan, atau diperuntuhkkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun (6 Tahun). Sedangkan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Selain diproses dengan KUHP, pembuat ijazah palsu dapat juga dijerat dengan Pasal 67 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatakan bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sedangkan untuk penggunaaan ijazah palsu dapat sangkakan dengan Pasal 69 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur bahwa Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Menurut hemat penulis, sebagaimana delik aduan oleh Presidium AMPDI, kiranya awal pintu masuk kepada Penyidik Kepolisian untuk secepatnya melakukan proses Penyelidikan dan Penyidikan sebagaimana di amanatkan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), karena analisis penulis bahwa praktek ijazah palsu ini sedikit-dikitnya melibatkan lebih dari satu orang, artinya orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) atas peristiwa pidana diatas.
Sehingga untuk menentukan pertanggungjawabkan pidana (criminal responsibility) sesuai unsur-unsur yang ditentukan oleh Undang-undang. Apakah dapat dihukum atau tidak orang lain yang turut serta melakukan tindak pidana pemalsuan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 KUHP, dan jika ada orang lain membantu melakukan (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP juga menanti mereka.
Akhir tulisan ini, Penulis hanya mengatakan bahwa, terkadang hal yang benar menurut kita adalah hal yang salah menurut orang lain, begitupun sebaliknya. Jadi lebih baik dapat diproses sehingga mempunyai kepastian Hukum.
Penulis : Sahlan Tubaka S.H.M.H
Pemerhati Politik & Hukum