Kal-Sel MPP – Masa aksi memulai unjuk rasa dari kawasan Bundaran Hotel A Banjarmasin, lalu berjalan ke depan gedung DPRD Kalsel, sambil membentangkan spanduk dan poster penolakan RUU Penyiaran.
Para jurnalis-pekerja kreatif menilai RUU ini berpotensi memberangus kemerdekaan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berpendapat karena di dalamnya terdapat sejumlah pasal yang bermasalah.
Dalam aksi ini, mereka menuntut DPR RI untuk menghapus pasal-pasal kontroversial tersebut. Juga meminta kepada DPRD Kalsel agar menyampaikan serta sepakat dengan aspirasi ini dibawa ke Senayan.
Perwakilan DPRD Kalsel yang menemui massa adalah Ketua Komisi I, Suripno Sumas. Dia berjanji meneruskan aspirasi Masyarakat Peduli Pers ke Komisi I DPR RI.
Suripno juga ingin, gelombang penolakan saat ini bisa menjadi bahan pertimbangan DPR RI sebelum mengetok palu revisi UU Penyiaran yang sedang ditunda.
“Aspirasi ini akan disampaikan kepada Ketua DPRD Kalsel. Kemudian bulan Juli kami ada agenda ke Jakarta, tuntutan ini sekaligus disampaikan,” ujarnya.
Pasal-Pasal yang Mengancam
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan Biro Banjarmasin mencatat ada beberapa yang mengancam kerja-kerja jurnalistik dan menunjukkan seakan pemerintah alergi terhadap kritik. Seperti pelarangan siaran ekslusif jurnalisme investigasi yang tercantum dalam Pasal 50B ayat 2 huruf (c) RUU Penyiaran.
“Larangan ini membatasi ruang gerak jurnalis dalam melakukan investigasi mendalam yang merupakan salah satu fungsi kontrol sosial pers,” ujar Hari Tri Widodo, peserta aksi dari AJI Balikpapan Biro Banjarmasin.
Menurut Hari, karya jurnalistik seringkali mengungkap kebenaran yang tidak terjangkau oleh laporan berita biasa. Jika tak lagi diizinkan, maka akan mengganggu elemen penting dalam demokrasi.
Dalam RUU Penyiaran yang baru juga mengandung “pasal karet”. Ambil contoh, Pasal 50B ayat 2 huruf (k) yang memuat larangan membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, mirip dengan “pasal karet” dalam UU ITE.
“Pasal ini rentan disalahgunakan untuk menjerat jurnalis dengan tuduhan pencemaran nama baik. Yang dapat digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam kritik dan pengawasan terhadap kekuasaan,” kata Diananta Putera Sumedi, anggota AJI Balikpapan Biro Banjarmasin dan penyintas UU ITE.
Tak cuma dua pasal itu, RUU Penyiaran juga akan memberi karpet merah kepada aparat untuk mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan. Ini jelas bertentangan dengan UU Pers yang menyatakan bahwa sengketa pers diselesaikan oleh Dewan Pers. Menurut AJI, pengadilan bukanlah forum yang tepat untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik.
Masih dalam ranah jurnalisme, RUU Penyiaran juga mengancam nasib industri penyiaran radio analog yang akan “disuntik mati” pemerintah pada 2028 jika aturan ini disahkan.
“Di dalam RUU ini, ada pasal 30E ayat 1 yang menyatakan bahwa digitalisasi jasa penyiaran radio dilakukan secara alamiah dan terencana. Sedangkan di ayat 4 menyatakan bahwa batas akhir siaran analog menjadi siaran digital untuk jasa penyiaran radio dilaksanakan paling lambat bulan November 2028. Ini tidak selaras,” kata Ketua PRSSNI Kalseltim, Sukma HA.
Menurut Sukma, sebaiknya pasal itu dihapus. Mengingat, perangkat penerima siaran radio digitan belum banyak tersedia di masyarakat secara nasional. Tak cuma itu, kata dia, penerapan siaran radio digital di belahan dunia mana pun sampai hari ini belum ada yang berhasil.
Meminggirkan Isu Publik
Pelarangan jurnalisme investigasi dan munculnya pasal-pasal karet pencemaran nama baik hanya akan semakin meminggirkan isu-isu publik di media massa.
Sebab, nyaris semua isu-isu yang berkaitan dengan masyarakat sipil selalu dituangkan para jurnalis dalam laporan yang mendalam (indepth) dan investigasi.
Misalnya, laporan-laporan tentang praktik perusakan lingkup. Red