Jambi – Senami, Kabupaten Batang Hari –Kebakaran sumur minyak ilegal yang terjadi di wilayah Senami tak hanya meninggalkan jejak asap dan bara, tetapi juga menelanjangi wajah buram penegakan hukum di negeri ini. Tragedi yang seharusnya menjadi titik balik bagi aparat penegak hukum (APH), justru berubah menjadi bukti nyata ketidakberdayaan – atau mungkin ketidakmauan – dalam menindak tegas pelaku kejahatan kelas kakap.
Deretan nama yang disebut-sebut sebagai pemilik aktivitas pengeboran minyak ilegal, yakni Tanggang, Asiong Bonar, Kiting, Irul,Candra, Gusti,Zubir,Subanrio, Dikun, uwal .hingga kini masih bebas menjalankan aktivitas mereka. Tidak satu pun dari mereka yang tersentuh proses hukum, padahal aktivitas mereka terang-terangan melanggar berbagai undang-undang dan membahayakan keselamatan warga dan lingkungan sekitar.
> “Kalau rakyat biasa mencuri satu jerigen BBM saja langsung diborgol. Tapi mereka yang mencuri kekayaan negara berton-ton, kenapa masih aman? Ada apa sebenarnya?” tegas seorang warga Senami yang meminta identitasnya disembunyikan.
Tragedi yang Menguak Aib Penegakan Hukum.Kebakaran sumur minyak ilegal bukan musibah semata – ini adalah alarm kegagalan. Bukan sekali, bukan dua kali. Namun tragedi ini terus berulang dengan pola yang sama: pelaku tidak ditangkap, lokasi tidak disegel permanen, dan aktivitas masih terus berjalan dan semakin meluas .seolah olah hukum tak punya gigi.
Pakar hukum pidana dari Jambi, yang enggan disebut namanya, menyebut fenomena ini sebagai bentuk de facto legalisasi kejahatan dan pembiaran.
> “Kalau APH diam, maka publik berhak bertanya: ada pembiaran, atau lebih jauh lagi, ada keterlibatan?”
Fakta Hukum yang Dilanggar – Jelas dan Tegas
1. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Pasal 52 & 53: Melarang keras kegiatan migas tanpa izin resmi, dengan ancaman 6 Tahun penjara dan denda Rp 60 miliar.
Pasal 55: Pihak yang memberi fasilitas juga bisa dipidana.
2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 69 dan 104: Pencemaran lingkungan bisa dijerat 10 Tahun penjara dan denda Rp 10 miliar.
3. KUHP
Pasal 480: Penadah hasil minyak ilegal bisa dihukum.
Pasal 406: Perusakan lingkungan juga masuk ranah pidana umum.
4. UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Memberi wewenang penuh kepada Jaksa dan Polisi untuk menindak segala bentuk kejahatan, termasuk yang melibatkan mafia minyak ilegal.
Namun semua itu tinggal tinta di atas kertas, jika tidak ditegakkan.
Pertanyaan Publik: APH Takut atau Terlibat?
Di tengah sorotan tajam ini, muncul pertanyaan yang tak kalah membakar: Apakah aparat takut pada penguasa sumur ilegal, atau sudah menjadi bagian dari lingkaran bisnis gelap ini?
Masyarakat menanti langkah nyata. Penegakan hukum tak bisa pilih kasih. Bila negara tak mampu menertibkan segelintir orang yang menghancurkan lingkungan dan mencuri sumber daya, maka kepercayaan publik pada keadilan hanya tinggal mitos.
Saatnya APH membuktikan: berdiri sisi hukum atau tunduk pada para perusak negeri.