CIAMIS, MP-POLRI – Dalam Pemaparannya Dr.Seno mengatakan “Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan perwujudan dari penghargaan terhadap perlindungan hukum pada profesi pers.
Pers dalam menjalankan perannya memberikan kontribusi terhadap pencerdasan kehidupan bangsa melalui informasi yang disampaikan dalam publikasi tulisan dengan beritanya, sekaligus membawa amanat Undang-Undang Dasar 1945 dalam kebebasan berpikir dan berpendapat sebagai Hak Asasi Manusia.
Asst Prof Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPCLE merupakan Wakil Ketua I Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan bidang akademik dan kemahasiswaan selain berprofesi sebagai dosen ia juga merupakan Pendiri dari Firma Hukum DSW & Partners , memberikan pendapatnya bahwa Pertanggung Jawaban Hukum terhadap Pers dalam Pemenuhan Rasa Keadilan Masyarakat.yang mana dalam. Profesi pers adanya.
Kode Etik Jurnalistik yang telah diangkat sebagai ketentuan dalam sebuah profesi
dipandang masih relevan digunakan dalam mekanisme penyelesaian sengketa pers dengan upaya Hak Tolak, Hak Jawab,
dan Hak Koreksi sebagaimana telah diatur dalam UU Pers .
Di dalam penjelasan dikatakan, tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan atau seorang berprofesi jurnalis dapat melindungi sumber informasi dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi” Hak tersebut dipergunakan wartawan( jurnalis) bila dimintai keterangan oleh pejabat dan atau penyidik dan atau dimintai menjadi saksi di pengadilan “Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan umum yang dinyatakan oleh UU namun demikan dalam praktek bahwa apabila pada sebuah proses hukum , Majelis Hakim memutuskan bahwa perkara yang tengah diperiksa tidak memenuhi unsur pasal yg di sangkakan
Selain hak tolak, UU Pers juga mengatur mengenai hak jawab, dan hak koreksi yang harus dipenuhi sebagai tanggunjawab Hukum Pers Nasional terhadap karya jurnalistik, karena UU Pers nasional berkewajiban memberitakan perlindungan hukum dan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Ini menunjuk maksud bahwa pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
Oleh karena itu ” UU Pers dalam menyelesaikan permasalahan pemberitaan pers yang timbul akibat kegiatan jurnalistik, diselesaikan dengan mekanisme pelayanan hak jawab dan hak koreksi secara proporsional dan terhormat, dan kejujuran redaksi melakukan kewajiban koreksi.
Hak jawab dalam UU Pers menegaskan bahwa pers wajib melayani hak jawab yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Bila terdapat perusahaan pers tidak melayani hak jawab, UU Pers menegaskan dapat dipidana dengan pidana denda. Sesuai dengan landasaan idiil dan landasan historis serta fungsi kebebasan pers menyampaikan kritik dan koreksi, dihubungkan dengan tanggung jawab hukum pemberitaan dan ulasan yang dikemukakan pers, di ruang publik, masyarakat dan perorangan pun mendapat pula hak jawab terhadap tulisan yang mereka anggap merugikan.
Keseimbangan pers harus disesuaikan secara harmonis dengan tanggung jawab hukum pemberitaan yang dapat menjamin juga perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan masyarakat luas.
Di samping hak jawab masih ada sarana kontrol yang lain yaitu hak koreksi, dalam hal ini diperlukan kejujuran melakukan kewajiban koreksi. Hak koreksi inisiatifnya datang dari orang yang dirugikan, maka kewajiban koreksi inisiatifnya datang dari kejujuran Redaksi untuk melakukan koreksi, sekalipun tidak ada sanggahan atau tanggapan dari orang lain jika Redaksi menemukan kesalahan .
Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Sebenarnya pungkasnya.
Jurnalis.tim biro ciamis