Singkawang Kalbar, MP-POLRI – Roby Sanjaya,SH yang didampingi oleh Ibu Mardiana Maya Sartini dari PKBI dan Arif Jambras,SH selaku selaku Penasehat Hukum dari korban Perkara Persetubuhan Anak dibawah umur dengan TSK nya H. Herman (Caleg terpilih thn 2024.dari Partai PKS) agar segera diamankan oleh Polres Singkawang
berdasarkan Surat Ketetapan No.S.Tap/89/VIII/RES.1.24/2024/Reskrim tgl.16 Agustus 2024. Tentang Penetapan Tersangka dari Polres Singkawang”, ungkap Roby Sanjaya, SH dan rekan saat di gelar konprensi pers di Sekretariat LBH Rakha.
“Bahkan Kami dari LBH Rakha selaku penasehat hukum dari korban dipanggil secara khusus oleh Mabes Polri 04/09/2024 dalam menghadiri gelar perkara khusus yang dilakukan oleh Mabes Polri berdasarkan Surat Perintah Kepala Badan Reserse Kriminal Polri no.Sprin/8130/IX/Res.7.5/2024.tgl.2 September 2024. Yang bertempat di ruang gelar perkara Rowassidik Bareskrim polri gedung awaludin jamin lantai 10.”jelas Roby Sanjaya,SH.
Roby menjelaskan juga bahwa perkara Persetubuhan Anak dibawah umur walau Atas dasar suka sama suka tidak dapat dijadikan alasan bagi pelaku untuk menghindar dari jeratan hukum. Pelaku yang melakukan persetubuhan atau percabulan terhadap anak, tetap akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan perubahannya.
Jika anak ini telah berumur di atas 18 tahun, ia tetap dapat menuntut lelaki tersebut di kemudian hari, karena kewenangan menuntut pidana belum hapus karena daluwarsa.
Roby Sanjaya, SH menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”)
sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang tidak mengenal istilah suka sama suka untuk persetubuhan dan pencabulan terhadap anak. Meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, posisi anak tetap sebagai korban walaupun anak yang minta berhubungan badan atau dicabuli oleh orang lain.”jelasnya.
Kasus serupa dapat dilihat dalam pertimbangan hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene Nomor: 157/Pid.B/2011/PN Pangkajene, dimana Majelis Hakim menekankan bahwa norma utama yang terkandung dalam UU Perlindungan Anak yang menjadi aturan yang didakwakan dalam perkara a quo berbeda normanya dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) terkait dengan masalah tindak pidana kesusilaan.
KUHP, menurut hakim, mensyaratkan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan untuk dapat menghukum pelaku pemerkosaan berdasarkan Pasal 285 KUHP. Sehingga jika terjadinya persetubuhan tersebut karena “suka sama suka” antara korban dan pelaku, maka unsur “pemaksaan” menjadi hilang.
Lebih lanjut, dalam pertimbangannya hakim menyebutkan, menurut UU Perlindungan Anak, hukum melindungi anak-anak dari segala bentuk perbuatan persetubuhan baik itu karena suka sama suka, pembujukan, terlebih jika ada pemaksaan.
Ini berarti “atas dasar suka sama suka” dalam persetubuhan yang melibatkan anak, tidak dapat dijadikan alasan bagi pelaku untuk menghindar dari jeratan hukum. Apalagi ini kami tegaskan bukan suka sama suka, tapi adanya relasi kuasa antara Pelaku dan korban yang masih dibawah umur.
Jerat Hukum Bersetubuh dengan Anak Mengenai persetubuhan dengan anak serta perbuatan cabul, diatur dalam Pasal 76D dan 76E UU 35/2014 sebagai berikut:
Pasal 76D UU 35/2014:Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76E UU 35/2014: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pasal 81 Perpu 1/2016: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 82 Perpu 1/2016: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Sedangkan, jika persetubuhan tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dan atas dasar suka sama suka serta dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki tersebut.
Lain halnya, jika salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana karena zina sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak (lihat Pasal 284 KUHP). Simak juga artikel Pasal Apa untuk Menjerat Pacar yang Menolak Bertanggung Jawab?
Jika Menuntut di Kemudian Hari
Kemudian, mengenai pertanyaan kedua Anda, apakah jika anak tersebut telah berumur 18 tahun, anak tersebut tetap dapat menuntut pelaku? Perlu diketahui bahwa tindak pidana terjadi pada saat korban masih anak-anak, maka yang berlaku adalah ketentuan pada saat tindak pidana terjadi, yaitu ketentuan terhadap korban persetubuhan/percabulan anak. Jika anak tersebut telah berusia 18 tahun, ia tetap dapat menuntut, karena belum melewati daluarsa penuntutan pidana yang diatur dalam Pasal 78 KUHP:
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
Karena sanksi pidana bagi persetubuhan atau percabulan terhadap anak di bawah umur paling sedikit 5 tahun dan paling lama 15 tahun, maka daluarsanya adalah sesudah 12 tahun sesudah perbuatan dilakukan. Ini berarti, korban masih dapat melakukan penuntutan walaupun ia bukan termasuk kategori anak lagi ( Indra)