Oleh : Kompol (P) H. Moch. Abdurochim
Berhentilah berbicara, dan berbuatlah ! Demikian adalah kata-kata mutiara yang sering didengar. Kata-kata itu seolah menyampaikan bahwa tidak perlu berbicara, cukup dengan berbuat. Tapi sebenarnya kata-kata itu menyampaikan pesan tentang keseimbangan antara berbicara dan berbuat.
Hidup tidak lepas dari berbicara dan berbuat. Berbicara diperlukan untuk menyampaikan suatu pesan, perintah, cerita, berita dan lain-lain, guna menjadi pedoman dalam berbuat atau melakukan sesuatu.
Kehidupan diawali dengan berbicara (bersuara), mendengar, kemudian berbuat. Bahkan Wahyu Ilahi disampaikan kepada para Rasul melalui suara (Kalamulloh), entah itu langsung seperti kepada Nabi Musa AS, ataupun kepada Rasul yang lainnya termasuk Nabi Muhammad SAW. Yang menjadi pokok perhatian adalah sebanyak apa manusia berbicara dan sebanyak apa manusia berbuat.
Hidup tidak hanya untuk berbicara, tapi untuk dijalani. Menjalani hidup dengan berbuat. Dari berbuat, maka manusia akan menghasilkan karya. Saat manusia terlalu banyak bicara, maka energi akan tersia-sia. Tidak ada karya tanpa berbuat.
Semua manusia memiliki potensi hebat.
Potensi ini merupakan bekal bagi manusia dalam menjalani kehidupan ini. Begitu manusia lahir, yang pertama dilakukan adalah menangis (mengeluarkan suara). Tangisan ini merupakan analogi dari berbicara.
Berbicara adalah suatu potensi untuk menggerakkan manusia agar bertindak. Tangisan bayi adalah suatu pesan agar ibu atau orang yang merawat bayi bertindak. Dalam fase berikutnya, manusia tumbuh dewasa dan berbicara untuk menyampaikan keinginannya. Prestasi manusia terlahir setelah pembicaraan diubah menjadi perbuatan.
Berbicara dan berbuat haruslah menjadi harmoni. Orang yang berbuat tidak sesuai dengan perkataannya, atau sebaliknya orang yang berbicara tidak sesuai dengan ucapannya, akan mendapat cap sebagai pembohong. Salah satu karya manusia yang terbaik adalah menjadi orang terpercaya, yaitu orang yang relevan antara perbuatan dan ucapannya. Agar terjalin harmoni antara ucapan dan perbuatan, maka perlu dilibatkan perasaan cinta (hati).
Hal ini digambarkan dengan baik dalam kata-kata mutiara Khalil Gibran, “Apakah berbuat dengan rasa cinta itu ? Berbuat dengan rasa cinta ibarat menenun kain yang benangnya ditarik dari jantung hatimu, seolah-olah kekasihmulah yang mengenakannya esok pagi. Jika cinta memanggilmu, ikutlah dengannya, meski jalan yang kalian tempuh terjal dan berliku”.
Kepercayaan adalah hasil dari hati. Manusia sering terlibat dalam rutinitas terlalu banyak bicara, terlalu banyak berpikir, terlalu banyak menganalisa, terlalu banyak mengkritik, terlalu banyak menyalahkan, sehingga lupa untuk berbuat. Hasilnya adalah hilangnya kepercayaan.
Saat ini masyarakat Indonesia sedang terjebak dalam saling mengkritik, saling menyalahkan, banyak mengeluh, berkaitan dengan pemilihan calon Presiden 2019. Mengutip kata-kata saudara Wildan, Ketua Dewan Pengawas Media Purna Polri, “mereka bukan mendukung calon Presiden, tapi mendukung ego mereka, atau mendukung apa yang mereka yakini sebagai kebenaran”, sudah saatnya masyarakat Indonesia menggunakan hati membangun monumen kepercayaan.
Artinya berbeda pendapat atau keyakinan adalah hal yang wajar, yang tidak wajar adalah karena mendukung egonya, mereka berbicara terlalu banyak, menyampaikan perkataan bohong, dan berbuat menyebar hoax untuk menjatuhkan calon Presiden yang bukan pilihannya. Bila sudah meyakini calon Presiden adalah kebenaran yang didukung oleh ego mereka, tentunya karya apapun yang dipunyai oleh calon Presiden lawannya tidak akan merubah pandangan mereka. Lantas apa gunanya menghabiskan energi, berbuat menyajikan fakta-fakta keunggulan calon Presiden dukungannya dan menyajikan fakta-fakta keburukan calon Presiden lawannya?
Berbuatlah dan berbicaralah dengan hati nurani, jauhkan rasa dengki, karena pada hakikatnya kita bersaudara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia berazaskan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.